ANEMIA DEFISIENSI BESI

1 DEFINISI

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dean memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO). 3,5

Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal. 1,3

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang. 4,5

2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja 26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi.sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. 1,5

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangakan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%. Dr. Pauline dari RSU. Fatmawati Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia. Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia.2,3,5,6

3 ETIOLOGI

Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap. Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai.7,16

Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih 2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100ml/hari. 3,8

Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit, misalnya aspirin dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia defisiensi besi. Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di daerah endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid yang berlebihan (>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi. 3,6

Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun perubahan anatomi saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi seperti malnutrisi energi protein, infeksi usus, pasca bedah usus. 1,6,8,9

Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume darah yang banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir tahun pertama berat badan anak mencapai 3 kali berat badan lahir. Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada masa pubertas. 9,10

Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. 1,3,7

4 PATOFISIOLOGI

4.1 Pembentukan Hemoglobin

Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum tulang), sumsum tulang memproduksi 500 x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari transferin. 10,11

Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid.10

Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin.Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).3,10

Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh 1. kurang gizi, 2. gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung), 3. kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan, perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor Fe.10,11

4.2 Metabolisme Besi

Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini dipergunakan untuk sintesis hemoglobin.11,12

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut , sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.3,12

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.10,11,12

Kedua mekanisme di atas akan digambarkan dalam bagan di bawah ini 10

Kebutuhan rata-rata zat besi per hari : 13

- 0-6 bulan 3 mg

- 7-12 bulan 5mg

- 1-3 tahun 8 mg

- 4-6 tahun 9 mg

- 7-9 tahun 10 mg

- 10-12 tahun pria : 14 mg wanita : 14 mg

13-15 tahun 17 mg 19 mg

16-19 tahun 23 mg 25 mg

- hamil : + 20 mg

- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg

Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut : 12

- massa eritrosit 60%

- feritin dan hemosiderin 30%

- mioglobin 5-10%

- hemenzim 1%

- besi plasma 0,1%

Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah :

- bayi 0,3-0,4 mg/hari

- anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari

- wanita hamil 2,7 mg/hari

Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena besi dipergunakan untuk pertumbuhan. 12

4.3 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:1,3,10

Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.

Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.

Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi 1

Hemoglobin

Tahap I

(Normal)

Tahap II

(sedikit menurun)

Tahap III

(menurun jelas)

Mikrositik hipokrom

Cadangan besi (mg)

<100

0

0

Fe serum (ug/dl)

Normal

<60

<40

TIBC (ug/dl)

360-390

>390

>410

Saturasi transferin (%)

20-30

<15

<10

Feritin serum (ug/dl)

<20

<12

<12

Sideroblas (%)

40-60

<10

<10

FEP (ug/dl eritrosit)

>30

>100

>200

MCV

Normal

Normal

Menurun

5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <>berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada kadar Hb < style="letter-spacing: -0.25pt;">kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb. 1,3,9

Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan

besi seperti:3,8,14,15

Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus.

Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh

Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin

Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S. aureus menurun.

· gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.

· Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang disebabkan enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang.

6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan indeks entrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang.1,8

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel tar­get, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).1,3,4

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%.4,8

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC meningkat. Pemeriksan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) <>eritropoisis. ST <7%>dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya.1,4,8

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Bila kadar feritin <>tubuh. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.1,8

7 DIAGNOSIS

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: 1,3,,8

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :

  1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
  2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31%>
  3. Kadar Fe serum <50>
  4. Saturasi transferin (ST) <15%>

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

  1. Anemia hipokrom mikrositik
  2. Saturasi transferin <16%
  3. Nilai FEP >100 ug/dl
  4. Kadar feritin serum <12>

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, Feritin serum, FEP) harus dipenuhi.

Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:1

1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV,MCH, dan MCHC yang menurun.

2. FEP meningkat

3. Feritin serum menurun

4. Fe serum menurun, TIBC meningkat,ST <16%

5. Respon terhadap pemberian preparat besi

- Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian

preparat besi.

- Kadar Hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl perhari atau PCV

meningkat 1% perhari

6. Sum-sum tulang

- Tertundanya maturasi sitoplasma

- Pada pewarnaan sum-sum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.1,3,8

8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom makrositik lain (Tabel 2). Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. 1,5

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya <>menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2.1,3,9

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.1,9

Table 2: Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB

Pemeriksaan

Laboratorium

Anemia defisiensi Besi

Thalasemia Minor

Anemia Penyakit Kronis

MCV

Menurun

Menurun

N/Menurun

Fe serum

Menurun

Normal

Menurun

TIBC

Naik

Normal

Menurun

Saturasi transferin

Menurun

Normal

Menurun

FEP

Naik

Normal

Naik

Feritin serum

Menurun

Normal

Menurun

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah. Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.1,5,9

9 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan. Pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. 1,3,8,9

9.1 Pemberian preparat besi

Pemberian preparat besi peroral

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).1,3

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini.1,8,9

Preparat terapi besi per oral : 3

- Fe sulfat (20 % Fe)

- Fe fumarat (33 % Fe)

- Fe succinate (12 % Fe)

- Fe gluconate (12 % Fe)

9.2 Respons terhadap pemberian besi pada ADB

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan. 1,8

Tabel 3: Respons pemberian besi

Waktu setelah Pemberian besi

Respons

12-24 jam

Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subjektif berkurang, nafsu makan bertambah

36-48 jam

Respons awal dari sumsum tulang hiperplasia eritroid

48-72 jam

Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7

Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:1,8

Dosis besi (mg) BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

9.3 Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <>pemberian diuretik seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.1,8,9

10 PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1,3,8

Diagnosis salah

Dosis obat tidak adekuat

Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa

Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung

menetap

Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)

Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

11 PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan tujuan utama dalam penanganan masalah anemia defisiensi besi, untuk itu diperlukan pendidikan tentang pemberian makanan dan suplementasi besi. 3,8

  1. Makanan

- Pemberian ASI minimal 6 bulan.

- Hindari minum susu sapi yang berlebih.

- Tambahan makanan/bahan yang meningkatkan absorpsi besi (buah-buahan, daging, unggas)

- Hindari peningkatan berat badan yang berlebihan.

- Pemberian Fe dalam makanan (iron Fortified Infant Cereal)

  1. Suplementasi besi

- Kebutuhan perhari untuk bayi hingga 1 tahun 2 mg Fe/kgBB.

- Bayi prematur membutuhkan Fe dua kali lebih banyak (4mg Fe/kgBB)

- Suplementasi besi juga dibutuhkan pada bayi yang minum ASI lebih dari 6 bulan.

- Untuk menurunkan frekuensi ADB di Indonesia pemerintah memberikan suplementasi zat besi sebanyak 60 mg besi elemental tiap minggu selama 16 minggu dalam setahun kepada anak sekolah, buruh pabrik dan ibu-ibu hamil.

- Penyuluhan mengenai perbaikan gizi terutama mengenai pentingnya makanan yang banyak mengandung zat besi untuk pertumbuhan dan peningkatan prestasi belajar pada anak remaja.

Iron fortified milk mengandung 11-12 mg Fe perliter dan yang diserap tubuh hanya 4% (0,48 mg Fe). ASI mengandung 0,3 mg Fe/liter dan yang dapat diserap tubuh sebanyak 50% (0,15mg Fe). Unfortified milk mengandung 0,8 mg Fe/liter dan yang diserap tubuh sebanyak 10% (0,08 mgFe). 3


KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi pada anak akan memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Defisiensi besi juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan berkurang. Dan yang paling penting adalah bila defisiensi besi ini sudah berlangsung lama, akan menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak.

Penyebab utama anemia defisiensi besi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan menyatakan bahwa anemia defisiensi besi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan

Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering tcrjadi pada bayi dan anak. Pencegahan dapat dilakukan melalui asupan makanan dan suplementasi zat besi. Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Raspati H, Reniarti L, dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar

Hematologi Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan

Penerbit IDAI.

2. Syamsi, BR. 2005.Hubungan defisiensi besi dengan perkembangan fungsi

kognitif.Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas kedokteran UGM.

3. Soegijanto,S. 2004.Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta :IDI

4. Behrman Kliegman, Arvin. 2004. Anemia Defisiensi Besi. Nelson’s Textbook of

Pediatrics. Edisi 18 pp 1691-1694. Jakarta. EGC.

5. Soemantri,AG.2005.Epidemiology of iron deficiency anemia.Anemia defisiensi

besi.Yogyakarta.Medika Fakultas Kedokteran UGM

6. Endang,P.2008.Jangan anggap enteng anemia pada anak.Diakses dari

www.kesrepro.info.com

7. Dwiprahasto,I.2005.Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti. Anemia

defisiensi besi.Yogyakarta.Medika Fakultas Kedokteran UGM

8. Abdussalam,M. 2005.Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besi

pada bayi dan anak.Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas

Kedokteran UGM

9. Wahyuni AS. 2004. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita. Diakses dari

www.digital_library_fkusu.htm.

10. Reksodiputro, H.1994.Mekanisme anemia defisiensi besi.Diakses dari

www.kalbefarmaportal/cerminduniakedokteran.com

11. Negara, NS.2005.Bioavailibilitas zat besi. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta:

MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM

12. Hasan,R, Alatas, H.2002.Anemia defisiensi besi.Ilmu kesehatan anak jilid1.Jakarta.Penerbit:Bagian Ilmu kesehatan anak FKUI.

13. Almatsies, S.2005.Penuntun diet. Jakarta.Penerbit: PT.Gramedia Pustaka Utama.

14. Ursula,PR.2005.Neurodevelopment and cognitives in children with iron

deficiency anemia. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas

Kedokteran UGM

15. Riswan M. 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di Beberapa

Praktek Bidan Swasta Dalam Kotamadya Medan. Diakses dari

www.digital_library_fkusu.htm.

16. Ridwan,A.2007.Anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia.Diakses dari: www.ridwahaminuddin.wordpress.com