Polip Nasi

1. Definisi

Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabua-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa nasal atau paranasal.1,2 Polip merupakan kelainan massa terbanyak yang ditemukan di dalam rongga hidung. Perkembangan polip dihubungkan dengan adanya suatu inflamasi kronik, alergi, kelainan sistem saraf otonom, dan predisposisi genetik.2

Polip biasanya bersifat bilateral. Walaupun polip dapat berasal dari setiap bagian dari mukosa nasal dan paranasal, pada umumnya polip berasal dari etmoid dan regio meatus media.2

Kekambuhan yang sering terjadi merupakan karakteristik dari polip nasi, dimana lebih dari 7-50% pasien yang mengalami pembedahan akan kembali mengalami rekuren.3 Angka kekambuhan ini akan bertambah bila pasien memiliki penyakit alergi dan intoleransi terhadap aspirin.2

2. Epidemiologi

Insidensi polip nasi sulit diperkirakan. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita kelainan ini, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.3 Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip nasi.2

3. Anatomi

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:4

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang, tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas: tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri atas: sepasang kartilago nasalis lateralis, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago ala mayor, dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut dengan nares anterior dan lubang belakang disebut dengan nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial kavum nasi adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang rawan dan tulang. Pada dinding lateral terdiri 4 buah konka. Bagian terbesar letaknya paling bawah yaitu konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi adalah konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema.4

4. Patogenesis

Suatu studi ekperimental menunjukkan bahwa pembentukan dan perkembangan dari polip nasi melibatkan tiga hal yaitu: epitel mukosa, matrik ekstraseluler, dan sel-sel inflamasi. Semuanya dapat diawali oleh suatu proses inflamasi baik infeksi atau noninfeksi. Keadaan patologis ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan interstisial yang akan menyumbat pembuluh darah di dalam polip sehingga menimbulkan edema dan distensi stroma.5

Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip nasi sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain:3

§ Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter

§ Aktivasi respon imun lokal

§ Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.

Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.

Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.3

5. Etiologi

Penyebab yang pasti dari polip nasi tidak diketahui, tetapi ada keadaan-keadaan yang berhubungan dengan kejadian polip nasi, diantaranya:5

a) Rinitis alergika dan non alergika

b) Sinusitis alergika fungal

c) Intoleransi aspirin

d) Asma

e) Churg-strauss syndrome (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma)

f) Cystic fibrosis

g) Imunodefisiensi

h) Diskinesia sillia primer

i) Sindrom kartagener (sinusitis kronik, brokiektasis, situs inversus)

j) Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip nasi)

Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa polip mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan penyakit nonalergik daripada penyakit alergik. Secara statistik, polip nasi lebih sering dijumpai pada pasien dengan asma nonalergik (13%) daripada asma alergik (5%), dan hanya 0,5% dari 3000 penderita atopi menderita polip nasi.6

6. Histopatologi

Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kavum nasi. Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:2

a) Eosinofilik edematous

Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema, peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma, dan penebalan membran basement.

b) Polip inflamasi kronik

Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.

c) Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous.

Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak.

d) Polip dengan atipia stromal

Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma.2

7. Diagnosis

Diagnosis polip nasi dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan:

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

§ Anamnesis

Melalui anamnesis dapat ditanyakan keluhan-keluhan yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh polip nasi, diantaranya:1,2,3,5

1) Hidung tersumbat

2) Rinore, mulai dari jernih sampai purulen bila terdapat infeksi sekunder

3) Post nasal drip

Gejala ini ditandai dengan merasakan adanya suatu cairan yang jatuh secara terus menerus ke belakang rongga mulut dikarenakan mukus yang berasal dari kavum nasi.

4) Anosmia atau hiposmia

5) Suara sengau karena sumbatan pada hidung

6) Sakit kepala dan snoring bila polipnya berukuran besar

7) Pembesaran hidung dan muka apabila massa polip sudah bertambah besar

8) Terdapatnya gejala-gejala sinusitis apabila polip sudah mengganggu drainase muara sinus ke rongga hidung

9) Polip yang besar kadang-kadang dapat mengganggu pernapasan saat tidur yang menimbulkan obstructive sleep apnea.

Selain keluhan-keluhan di atas, harus juga ditanyakan riwayat rinitis, asma, intoleransi terhadap aspirin, alergi obat lainnya, dan alergi makanan.

§ Pemeriksaan fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.1

Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund: 2,5

a. Grade 0 : Tidak ada polip

b. Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media

c. Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi belum menyebabkan obstruksi total

d. Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total

Naso-endoskopi

Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja operasi.1,7

B. Pemeriksaan radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.1

8. Penatalaksanaan

Terapi polip nasi dapat terbagi atas terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi gejala dan ukuran polip, menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah pembedahan, dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan. Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani pembedahan akan mengalami kekambuhan.3

a) Terapi medikamentosa

1. Antibiotik

Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama pembedahan. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat terhadap spesies staphylococcus, streptococcus, dan golongan anaerob yang merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.5

2. Kortikosteroid

Penggunaa kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik.

a) Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan pilihan dari polip nasi. Kortikosteroid topikal menyebabkan terjadinya penurunan jumlah limfosit pada jaringan polip dan menghambat sintesis sitokin. Selain itu, kortikosteroid topikal juga mengurangi jumlah dan aktivasi dari eosinofil.

Beberapa pasien mungkin tidak memberikan respon terhadap pemberian kortikosteroid topikal. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu pertama, penyebab dari nasal polip seperti cystic fibrosis dan diskinesia silia primer yang memang tidak memberikan respon terhadap steroid. Kedua, kongesti nasal dari polip sendiri mengganggu distribusi obat spray di dalam kavum nasi. Saat ini telah dikembangkan penggunaan topikal berbentuk tetes dimana untuk mendapatkan aktivitas lokal maksimal maka pemberiannya harus melalui cara head inverted position (moffit’s position).5

b) Kortikosteroid sistemik

Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna.5

3. Terapi tambahan lain

Penggunaan antihistamindan dekongestan dapat mengurangi gejala simtomatik tapi hal ini tidak mengubah perjalanan penyakit. Pemberian imunoterapi telah terbukti bermanfaat pada pasien dengan sinusitis alergika fungal.5

b) Terapi pembedahan

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk dilakukan terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgetik lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi caldwell-luc untuk sinus maksila. Cara yang terbaik adalah bila terdapat endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).1

9. Prognosis

Polip nasi tidak berhubungan dengan insidensi kematian, tapi hanya berpengaruh pada kualitas hidup penderitanya.2 Polip nasi bersifat rekuren walaupun telah dilakukan terapi baik medikasi atau pembedahan. Akan tetapi, penggunaan steroid topikal paling tidak dapat memperlambat waktu rekurensi sehingga kualitas hidup penderita dapat menjadi lebih baik.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Wardani RS. Polip Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:123-25.

2. Dalziel et al. Systematic Review of Endoscopic Sinus Surgery for Nasal Polyps. United Kingdom. 2003

3. Rucci et al. La Chirurgia Della Poliposi Nasale: Tecnica Convenzionale VS Tecnica Microchirurgica Associata a Resezione Dell’innervazione Parasimpatica. University of Florence. Italy. 2003

4. Soetjipto D, Wardani RS. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher. Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 118-123.

5. Assanasen P. Medical and Surgical Management of Polyp Nasal. University of Chicago. USA. 2003.

6. McClay JE. Nasal Polyps: Follow Up. 2008. Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com/article pada tanggal 4 Mei 2009.

7. Spafford P. Nosing Around: Dealing with Nasal Polyps. The Canadian Journal of CME

Otitis Media Supuratif Kronis

I.1 Definisi

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.1 Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan.2

I.2 Klasifikasi

OMSK dibagi dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

1. Tipe tubotimpani (tipe benigna/ tipe aman/ tipe mukosa)

Tipe ini ditandai adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Proses peradangan pada OMSK posisi ini terbatas pada mukosa saja, biasanya tidak mengenai tulang, umumnya jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, kegagalan pertahanan mukosa terhadap infeksi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa serta migrasi sekunder dari epitel squamosa. Sekret mukoid berhubungan dengan hiperplasi sel goblet, metaplasi dari mukosa telinga tengah.1,2

OMSK tipe benigna berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal 2 jenis yaitu

· OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif

· OMSK tenang apabila keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering.1

2. Tipe Atikoantral (tipe malignan/ tipe bahaya)

Tipe ini ditandai dengan perforasi tipe marginal atau tipe atik, disertai dengan kolesteatom dan sebagian besar komplikasi yang berbahaya dan fatal timbul pada OMSK tipe ini.1,2

Kolesteatom adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatom bertambah besar.1 Banyak teori mengenai patogenesis terbentuknya kolesteatom diantaranya adalah teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman (infeksi), terutama Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akan memicu proses peradangan lokal dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruksi, dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ disekitarnya sehingga dapat terjadi destruksi tulang yang diperhebat oleh pembentukan asam dari proses pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis, meningitis dan abses otak.1

Kolesteatom dapat diklasifikasikan atas dua jenis:

a. Kolesteatom kongenital.

Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital menurut Derlaki dan Clemis (1965) adalah :

1. Berkembang dibelakang membran timpani yang masih utuh.

2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.

3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel

undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan.

Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Kolesteatom ini dapat menyebabkan parese nervus fasialis, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.1,2

b. Kolesteatom akuisital atau didapat

· Primary acquired cholesteatoma.

Kolesteatom yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatom timbul akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan negatif pada telinga tengah karena adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Kolesteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida1,2

· Secondary acquired cholesteatoma.

Terbentuk setelah perforasi membran timpani. Kolesteatom terjadi akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berkangsung lama (teori metaplasi).1

Bentuk perforasi membran timpani adalah :1,2

1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-kadang sub total. Pada seluruh tepi perforasi masih ada terdapat sisa membran timpani.

2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.

3. Perforasi atik

Terjadi pada pars flaksida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.

I.3 Etiologi2,3

Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rhinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Sindrom Down. Adanya tuba patulous menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat bermanifestasi sebagai sekresi telinga kronis.

Penyebab OMSK antara lain:

1. Lingkungan

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosioekonomi belum jelas, tetapi kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden OMSK yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, dan tempat tinggal yang padat.

2. Genetik

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

3. Riwayat otitis media sebelumnya

Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan/ atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis

4. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram (-), flora tipe usus, dan beberapa organisme lainnya.

5. Infeksi saluran nafas atas

Banyak penderita mengeluh keluarnya sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap OMSK.

7. Alergi

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius

Pada otitis media kronis aktif tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani yang menetap pada OMSK adalah:

· Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut.

· Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi.

· Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel.

· Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi.

I.4 Patogenesis

Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus.2

I.4.1 OMSK benigna

Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai pada dewasa. OMSK disebabkan oleh multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, dan social ekonomi. Anak lebih mudah mengalami infeksi telinga tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran napas maka otitis media dapat terjadi.3

Fokus infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadi inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantung mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-kadang terbentuk jaringan granulasi atau polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam lipatan mukosa yang masing-masing harus dibuang, tetapi dengan penatalaksanaan yang baik perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang terjadi. Mukosa telinga tengah mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal. Bila terjadi perforasi membrane timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke telinga luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Berenang, kemasukan benda yang tidak steril ke dalam liang telinga atau karena adanya focus infeksi pada saluran napas bagian atas akan menyebabkan infeksi eksaserbasi akut yang ditandai dengan secret yang mukoid atau mukopurulen.3

I.4.2 OMSK tipe bahaya

OMSK ini mengandung kolesteatom, disebut tipe bahaya karena sering menimbulkan komplikasi. Kolesteatom berpotensi mendestruksi tulang dan memungkinkan penyebaran infeksi sehingga diperlukan tindakan operasi.3

I.5 Gambaran Klinik OMSK

1. Telinga berair (otorrhoe)

Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya secret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih,mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.2,4

3. Otalgia ( nyeri telinga)

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah.

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna1,2

Mengingat OMSK tipe bahaya sering kali menimbulkan komplikasi yang bebahaya. Diagnosis pasti baru ditegakkan pada dikamar operasi namun beberapa tanda klinik OMSK yaitu:

1. Perforasi marginal atau atik

2. Adanya Abses atau fistel retroaurikular

3. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.

4. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)

5. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

I.6 Diagnosis

Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara:1,3,5

1. Anamnesis (history-taking)

Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang pada tipe tubotimpanal sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang (mukus), tidak berbau busuk dan intermiten, sedangkan pada tipe atikoantral, sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi atau polip sehingga sekret yang keluar dapat bercampur darah. Keluhan telinga berair ini menetap dan berulang lebih dari 2 bulan. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah. Pada anamnesis ini perlu ditanyakan juga gejala-gejala yang berhubungan dengan adanya komplikasi OMSK, baik komplikasi intratemporal, ekstratemporal, dan intrakranial.

2. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan audiologi

Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’ pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran.

4. Pemeriksaan radiologi

Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna untuk menilai kasus kolesteatoma, pneumatisasi mastoid dan perluasan penyakit, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.

5. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi secret telinga penting untuk menentukan antibiotik yang tepat, tetapi antibiotik lini pertama tidak harus menunggu hasil pemeriksaan ini.

I.7 Penatalaksanaan

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan:

1. Adanya perforasi membrane timpani yang permanen.

2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal.

3. Terbentuk jaringan patologis yang ireversibel dalam rongga mastoid.

4. Gizi dan higien yang kurang.1

Pengobatan penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.2

Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana pengobatan dapat dibagi atas :

1. Konservatif

2. Operasi.1,2,3,4,5

I.7.1 Penatalaksanaan OMSK Benigna

A. OMSK BENIGNA TENANG.2

Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

B. OMSK BENIGNA AKTIF

Prinsip pengobatan OMSK adalah :

1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.

Pembersihan liang telinga dan kavum timpani ( toilet telinga) bertujuan membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme (Fairbank, 1981).2 Bila sekret keluar terus menerus maka diberikan obat pencuci telinga berupa H2O2 3 % selama 3 hingga 5 hari. Setelah sekret berkurang maka terapi dilanjutkan dengan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.1

2. Pemberian antibiotik topikal dan sistemik

Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Pemberian antibiotik ini dianjurkan tidak lebih dari 2 minggu.1 Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Namun dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin didapatkan 88,96% sembuh, 8,69% membaik dan 4,53% tidak ada perbaikan. Antibiotika topikal lainnya yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah:2

1. Polimiksin B atau polimiksin E

Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. coli Klebsiella, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis. Antibiotik ini toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.

2. Neomisin

Obat bakterisid terhadap kuman gram positif dan negatif, misalnya: Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua bakteri anaerob dan Pseudomonas. Antibiotik ini juga toksik terhadap ginjal dan telinga.

3. Kloramfenikol

Obat ini bersifat bakterisid terhadap: Stafilokokus, Stafilokokus group A, E. coli, Proteus sp, Proteus mirabilis, Klebsiella, dan Enterobakter.

Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman penyebab. Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada otitis media kronik adalah golongan ampisillin atau eritromisin. Pada infeksi yang dicurigai penyebabnya telah resistensi terhadap ampisillin maka dapat diberikan ampisillin asam klavulanat.1,2

Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti yang bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi serta memperbaiki pendengaran. Sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada atau terjadinya infeksi berulang harus diobati terlebih dahulu.1

I.7.2 Penatalaksanaan OMSK Maligna.

Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan

konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.1,2

Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan

pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain:1,2

1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)

Tujuan operasi ini adalah agar infeksi tenang dan telinga tidak meradang. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki pada operasi ini.

2. Mastoidektomi radikal

Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas. Tujuan operasi adalah membuang jaringan patologis dan mencegah komplikasi intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kekurangan teknik ini adalah pasien tidak diperbolehkan untuk berenang seumur hidup, harus kontrol teratur, dan pendengaran pasien berkurang sekali.

3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi

Pada operasi ini dilakukan pemasangan graft. Tujuan operasi ini adalah membuang jaringan patologis dari rongga mastoid dan mempertahankan fungsi pendengaran yang masih ada.

4. Miringoplasti

Pada operasi ini dilakukan rekonstruksi pada membran timpani. Tujuan operasi ini untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap dan memiliki ketulian yang ringan.

5. Timpanoplasti

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi ini adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.

6. Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)

Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi ini untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran.1,2

I.8 Komplikasi

Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMSK terbagia atas:

a. Komplikasi Intratemporal

- Perforasi membrane timpani.

- Mastoiditis akut.

- Parese nervus fasialis.

- Labirinitis.

- Petrositis.

b. Komplikasi Ekstratemporal.

- Abses subperiosteal.

c. Komplikasi Intrakranial.

- Abses otak.

- Tromboflebitis.

- Hidrocephalus otikus.

- Empiema subdural/ ekstradural.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA,dkk.Kelainan Telinga Tengah.Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.

2. Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Medan : FK USU. 2003.

3. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti.Jakarta: FK UI. 2005

4. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala Leher. Kampus USU. 2007.

5. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.